Selama ini masyarakat di tingkat
desa dan kecamatan telah dilibatkan dalam berbagai model perencanaan
partispatif. Seiring dengan lahirnya berbagai kebijakan untuk mendorong
keterlibatan berbagai pihak (stakeholders) dalam pembangunan
partisipatif yang mencakup proses perencanaan, pelaksanaan program, bahkan
evaluasi program/kegiatan.
Pada tingkat nasional, pemerintah mengeluarkan UU No 25 tahun 2004 mengenai Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menjelaskan alur perencanaan pembangunan nasional secara bottom up mulai dari level desa sampai pusat atau yang dikenal dengan Musrenbang Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional. Musrenbang ini menjadi instrumen pemerintah untuk melakukan penjaringan aspirasi masyarakat dalam pembangunan dimana pada setiap level pemerintahan diadakan musyawarah yang hasilnya akan di bawa ke musyawarah level atasnya oleh perwakilan peserta pada musyawarah level bawahnya. Pada setiap musyawarah akan diambil prioritas, akan tetapi keputusan realisasi dari prioritas tersebut berada pada level paling atas, yaitu pemerintah pusat.
Pada tingkat nasional, pemerintah mengeluarkan UU No 25 tahun 2004 mengenai Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menjelaskan alur perencanaan pembangunan nasional secara bottom up mulai dari level desa sampai pusat atau yang dikenal dengan Musrenbang Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional. Musrenbang ini menjadi instrumen pemerintah untuk melakukan penjaringan aspirasi masyarakat dalam pembangunan dimana pada setiap level pemerintahan diadakan musyawarah yang hasilnya akan di bawa ke musyawarah level atasnya oleh perwakilan peserta pada musyawarah level bawahnya. Pada setiap musyawarah akan diambil prioritas, akan tetapi keputusan realisasi dari prioritas tersebut berada pada level paling atas, yaitu pemerintah pusat.
Seiring dengan
kebijakan otonomi daerah melalui UU 22/1999 yang kemudian direvisi oleh UU No.
32 tahun 2004, Pemerintah Daerah mendapat kewenangan untuk melakukan
perencanaan pembangunan dengan melibatkan masyarakat secara luas. Dalam
perkembangannya, UU Otonomi Daerah disertai oleh berkembangnya semangat untuk
menurunkan lagi kewenangan pembuatan kebijakan pada tinkgat yang paling dekat
dengan masyarakat, yaitu Desa/Kelurahan. Ini mendorong lahirnya konsep otonomi
desa yang diawali dengan alokasi anggaran untuk desa dalam skema Alokasi Dana
Desa (ADD) dimana masyarakat memiliki ruang untuk terlibat dan menentuan
program pembangunan bahkan melakukan pengawasan terhadap program dan kegiatan
pembangunan. Proses perencanaan partisipatif diawali dengan mengumpulkan warga
dalam sebuah forum yang bernama Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
dari level yang paling kecil yaitu kelompok masyarakat, baik kelompok yang
berdasarkan atas wilayah seperti RT/RW, Kampung, atau berdasarkan profesi dan
organisasi seperti kelompok tani, PKK, pemuda, dan sebagainya. Di tingkat desa,
peserta Musrenbang diharapkan dihadiri oleh Kepala Desa, BPD, Camat, perangkat
desa terutama Kepala Urusan Pembangunan, Ketua RT/RW, dan perwakilan
masyarakat. Dalam komponen masyarakat terdiri dari individu atau kelompok yang
berada di desa/kelurahan, seperti ketua RT/RW, kepala dusun, tokoh agama, ketua
adat, wakil kelompok perempuan, wakil kelompok pemuda, organisasi masyarakat,
pengusaha, kelompok tani/nelayan, komite sekolah dan lain.
Sebagaimana diketahui, selain Musrenbang,
masyarakat di tingkat Desa/Kelurahan dan Kecamatan selama ini juga mengenal
model partisipatif dalam Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP),
Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat-Mandiri (PNPM-Mandiri). Pengalaman dan praktek-praktek baik selama
pelaksanaan model partisipatif tersebut — P2KP, PPK, PNPM-Mandiri — tentu saja
sangat berguna bahkan menjadi rujukan untuk perbaikan dan peningkatan
performance Musrenbang di masa mendatang.
dalam
design kelembagaan Musrenbang perlu dilihat sejauh mana proses Musrenbang
bersinergi dengan institusi lainnya di tingkat lokal. Misalnya, perlu dilihat
sejauhmana proses Musrenbang secara langsung menggunakan institusi seperti
kelembagaan Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga (PKK), Dasawisma, Karang Taruna, dan lain sebagainya untuk menunjang
partisipasi warga masyarakat. Lembaga-lembaga di tingkat lokal tersebut dapat
digunakan untuk melakukan, misalnya, penyerapan aspirasi warga masyarakat,
melakukan pelaporan keuangan program/kegiatan pembangunan, transpransi
anggaran, laporan kemajuan proyek, dan lain sebagainya.
(Disadur dari hasil Penelitian Tingkat Partisipasi masyarakat dalam perencanaan Pembangunan, Bidang statistik dan penelitian Bappeda Maanggarai Timur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar